Jika ia tak gila, maka pasti aku yang sudah gila.
Jika aku yang tak gila, maka sudah pasti ia gila.
“Aku tak tahan lagi” keluhnya.
Lagi lagi mengapa mengatakan
itu kepadaku?
Kepada aku yang sama ingin perginya bila dihadapkan dengan “ia”.
Ku ikuti semuanya tanpa keluh.
Bukan..
Bukan karena aku setuju.
Bukan karena aku setuju.
Tapi karena lelah rasanya untuk terus menerus mengeluh.
Untuk apa mengeluh jika pada akhirnya hanya akan berakhir dengan jawaban yang jelas sama?
Percuma!
Kenapa ya...
Kenapa Tuhan tidak merubah “ia”?
Mungkin.
Dari 100 permintaan yang selalu Tuhan kabulkan, hanya" ia" yang
tak kunjung menjadi permintaanku yang terkabul.
Kadang..
Lebih baik diam.
Lebih baik diam.
Diam pun di hardik
Apalagi jika aku menentang?
"Haha.. enyah sajalah kau astrid! Jangan cari perkara."
Nikmati saja sakitnya
Dan lihat seberapa jauh kau bisa bertahan.
Lihat!
Mengapa kini aku berbicara sendiri?
Mengapa kini aku berbicara sendiri?
Nampaknya memang aku yang sudah gila bukan?