Aku tak pandai mengemudi.
Ketika aku berjalan lurus, banyak orang menghambat perjalananku.
Ibu ibu dengan seragam kantornya, remaja usia belasan dengan gendongan tas di pundaknya, bahkan kumpulan bocah kecil dengan seragam merah putihnya berlalu lalang hilir mudik memaksa kendaraanku untuk berhenti sejenak.
Aku tak pandai mengemudi.
Ketika aku lambat, maka aku harus siap jika aku disalip.
Ketika aku cepat, maka aku harus siap untuk terjatuh.
Ketika aku diam, maka aku harus siap ketika banyak klakson meneriaki alasan kenapa aku harus diam.
Aku pernah disalip.
Tapi untungnya Tuhan baik.
Aku melaju pesat di depan mereka mereka yang menyalipku dengan "kotor".
Aku juga pernah terjatuh.
Tapi untungnya aku berhasil kembali bangkit dan melupakan fakta bahwa aku pernah terjatuh.
Mereka pernah berisik.
Aku pernah di klakson ketika diam
Mereka mengklakson tanpa pernah peduli alasan kenapa lajuku lambat, atau kenapa aku sampai harus diam.
Mereka hanya tahu bagaimana cara mengklakson tanpa peduli alasan kenapa laju kendaraanku harus terhenti.
Tak sedikit yang mengatakan aku "bodoh".
Ketika orang mencuri kemudiku, namun satu-satunya yang ku perbuat adalah diam.
Aku tak pandai mengemudi.
Ketika akhirnya aku tak dapat melaju, namun satu-satunya yang ku perbuat adalah dengan menunggu.
Menunggu untuk kemudian bisa melaju seratus kali lebih kencang.
Menunggu untuk kemudian bisa melaju seratus kali lebih kencang.
Terkadang..
Aku ingin melaju kencang
Namun rasanya kendaraanku tak berkapasitas sehebat itu.
Terkadang..
Aku melihat banyak kendaraan lebih dulu berada di puncak.
Berhasil melewati banyak liku tanjakan yang juga curam.
Lalu bagaimana denganku?
Akankah aku berada di puncak yang "sama" atau bahkan lebih dari mereka?
Entahlah..
Karena..
Aku tak pandai mengemudi.
Aku tak pandai mengemudi.
(Diary 03 Desember 2017, Astrid Khairina. S)
0 komentar